Sabtu, 13 Desember 2014

Makalah Sejarah Pendidikan Islam



SISTEM PELAKSANAAN PENDIDIKAN ISLAM PERIODE MEKKAH DAN MADINAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Muslih MZ, M.A



Disusun Oleh :
Irrodhatus Salamah                (133311035)
     Durrotun Nafisah                    (133311036)
     Eny Miftahul Janah                (133311037)
     Muthi’un Nutfi Nidaiyah       (133311038)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH & KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014


I.                PENDAHULUAN

Dalam pendidikan Islam, Rasullullah SAW adalah pendidik pertama dan     terutama dalam dunia pendidikan Islam. Proses transformasi ilmu pengetahuan, internalisasi nilai-nilai spiritualisme dan bimbingan emosional yang dilakukannya dapat dikatakan sebagai mu’jizat luar biasa, yang manusia apa dan dimanapun tidak dapat melakukan hal yang sama.
Gambaran dan pola pendidikan Islam di periode Rasullullah SAW fase Mekkah dan Madinah merupakan sejarah masa lalu yang perlu diungkapkan kembali, sebagai bahan perbandingan, sumber gagasan, gambaran strategi menyukseskan pelaksanaan proses pendidikan Islam. Pola pendidikan di masa Rasulullah SAW tidak lepas dari metode evaluasi, materi, kurikulum, pendidik, peserta didik, lembaga, dasar, tujuan dan sebagainya yang bertalian dengan pelaksanaan pendidikan Islam, baik secara teoretis maupun praktis.

II.              RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana pendidikan di Mekkah?
B.    Bagaimana visi, misi dan tujuan pendidikan di Mekkah?
C.    Bagaimana pendidikan di Madinah?
D.    Bagaimana visi, misi dan tujuan pendidikan di Madinah?

III.            PEMBAHASAN
A.    Pendidikan pada Fase Mekkah
Sebelum Muhammad memulai tugasnya sebagai Rasul, yaitu melaksanakan pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna, melalui pengalaman, pengenalan serta peran sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan budayanya, dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar mengadakan penyesuaian diri dengan masyarakat lingkungannya, tetapi tidak larut sama sekali kedalamnya Ia mampu menyelami kehidupan masyarakatnya, dan dengan potensi fitrahnya yang luar biasa mampu mempertahankan keseimbangan dirinya untuk tidak hanyut terbawa arus budaya masyarakatnya. Bahkan Ia mampu menemukan mutiara-mutiara Ibrahim yang sudah tenggelam dalam lumpur budaya masyarakat tersebut.
Dalam usahanya menemukan kembali mutiara warisan Nabi Ibrahim, Muhammad menempuh jalan merenung dan memikirkan keadaan dan situasi masyarakat sekitarnya. Haekal melukiskan: “Di kalangan masyarakatnya, dialah orang yang paling banyak berpikir merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhannya kepada umat manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya Ia mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya sebagai orang yang akan menerima risalah-Nya”.
Diantara tradisi yang terdapat dikalangan masyarakatnya, yang rupanya juga warisan Ibrahim adalah tradisi bertahannus, yaitu suatu cara menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri pada Tuhan, dengan bertapa dan berdo’a mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan. Muhammad pun sering melakukan tahannus ini, untuk mendapatkan petunjuk dan kebenaran dari Tuhan. Ia sering melakukan tahannus tersebut di Gua Hira. Disanalah Ia mendapatkan apa yang dicarinya, yaitu kebenaran dan petunjuk yang berasal dari Allah. Disana pula lah Muhammad dilantik oleh Allah menjadi Rasul, menjadi pendidik bagi umatnya.
Menjelang pengangkatannya sebagai Rasul Allah, dalam tahannus atau khalwatnya di Gua Hira, pada bulan Ramadhan, datanglah kepastian dalam dirinya bahwa Ia telah mendapatkan kebenaran yang dicarinya itu. Haekal melukiskan: “Setelah beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh kebenaran tertinggi itu dalam tidurnya Ia bertemu dengan mimpi hakiki, yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya. Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna. Ketika itulah Ia yakin benar-benar bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar. Hidup kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada berhala-berhala serta kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing-masing memang benar; tetapi masih mengandung bermacam-macam tahayul dan pelbagai macam cara paganisme, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak yang tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi pusat perhatian kedua golongan ahli kitab itu. Dan kebenaran itu ialah Allah, Khaliq seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah, pemelihara alam semesta. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat atom pun akan dilihat-Nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat atompun akan dilihat-Nya pula. Dan bahwa surga itu benar adanya dan neraka pun benar adanya. Mereka yang menyembah Tuhan selain Allah adalah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling durjana”.
Kebenaran itulah intisari ajaran Ibrahim, dan pokok-pokok kebenaran yang dihayati oleh Muhammad yang kemudian terumuskan dalam kalam Illahi sebagaimana dalam surat al-Fatihah. Dengan bekal kesadaran demikian, Muhammad diutus oleh Allah untuk menjadi pendidik bagi umatnya, untuk meluruskan kembali warisan Ibrahim dan menyempurnakannya, serta memperbaiki keadaan dan situasi budaya masyarakatnya, agar terwujud nyata kebenaran yang didapatkannya. Maka mulailah Nabi Muhammad SAW menerima petunjuk-petunjuk dan instruksi dari Allah, tentang apa dan bagaimana berbuat untuk melaksanakan tugasnya tersebut.
Muhammad mulai menerima wahyu dari Allah sebagai petunjuk dan instruksi untuk melaksanakan tugasnya, sewaktu beliau telah mencapai umur 40 tahun, yaitu pada tanggal 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijrah (6 Agustus 610 M). Petunjuk dan instruksi tersebut berbunyi dalam surat al-Alaq ayat 1-5 sebagai berikut:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ  
 Bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah demi Tuhanmu yang paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar manusia apa-apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. 96: 1-5)[1] 
Setelah wahyu pertama datang, kemudian selang beberapa lama, wahyu yang kedua datang yaitu surat al-Muddatsir 1-7 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ   óOè% öÉRr'sù ÇËÈ   y7­/uur ÷ŽÉi9s3sù ÇÌÈ   y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ   tô_9$#ur öàf÷d$$sù ÇÎÈ   Ÿwur `ãYôJs? çŽÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ   šÎh/tÏ9ur ÷ŽÉ9ô¹$$sù ÇÐÈ 
‘’Hai Orang yang berselimut, bangun dan beringatlah, hendaklah engkau besarkan Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, dan untuk memenuhi perintah Tuhanmu bersabarlah.’’

Setelah wahyu yang kedua ini Rasulullah diwajibkan untuk memanggil satu umat yang telah begitu rusak kepercayaannya dan akhlaknya, yang begitu fanatik atas adat dan istiadat dan agama berhala nenek moyangnya. Dengan berdakwah secara diam-diam dikalangan keluarga dan sahabat dekatnya.
Nabi telah mendidik umatnya secara bertahap. Ia mulai dengan keluarga dekatnya yang pada mulanya secara sembunyi-sembunyi. Kemudian secara berangsur-angsur kepada masyarakat Arab pada masa itu.
Dan dakwah tersebut orang yang pertama kali menerima dakwahnya adalah istrinya (Khadijah) kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib (anak pamannya) yang baru berumur 10 tahun kemudian Abu Bakar (sahabat karibnya sejak masa kanak-kanak) lalu Zaid ibn Haritsah (bekas budak yang telah menjadi anak angkatnya), Ummu Aiman pengasuh Nabi sejak ibunya (Aminah) masih hidup, juga termasuk orang yang pertama masuk Islam.
Setelah beberapa lama dakwah tersebut secara individual, turunlah perintah agar Nabi menjalankan dakwah dengan cara terbuka, yakni QS. Al-Hijr:94 yang berbunyi:
÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚ̍ôãr&ur Ç`tã tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÒÍÈ  
‘’Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.’’

Mula-mula ia mengundang dan menyeru kerabat karibnya dari Bani Abdul Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka ‘’Saya tidak melihat seorangpun di kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepadamu dunia dan akhirat terbaik. Tuhan memerintahkan saya untuk mengajak kalian semua. Siapakah diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?’’ Mereka semua menolak kecuali Ali.
Langkah dakwah selanjutnya yang diambil Muhammad adalah menyeru masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam dengan terang-terangan baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Setelah dakwah dengan terang-terangan ini, pemimpin Quraisy mulai menghalangi dakwah Rosul. Menurut Ahmad Syalabi, ada 5 faktor yang mendorong orang Quraisy menentang seruan itu, yaitu :
a.   Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib.
b.   Nabi Muhammad SAW menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy
c.   Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat
d.   Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang sangat berakar pada bangsa Arab
e.   Pemahat dan penjual patung memandang Islam adalah penghalang rizki
Walaupun demikian berat rintangan yang dihadapi Nabi, namun semua dihadapi dengan penuh kesabaran dan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberikan petunjuk dan pertolongan dalam menghadapi tantangan tersebut.[2]
Catatan sejarah tentang kegiatan pendidikan ditengah komunitas Yahudi dan Kristen yang hidup di Arabia pra Islam cenderung lebih lengkap. Yahudi dan Kristen terkenal dengan perhatiannya pada pendidikan umatnya. Sebelum datangnya Islam, Arabia telah mengenal sekolah-sekolah Yahudi dan Kristen tempat diajarkan kitab suci (Taurot dan Injil), filsafat, jadal (debat), dan topik-topik lain yang berkaitan dengan agama mereka. Sekolah-sekolah ini punya kaitan erat dengan kegiatan penyebaran agama Yahudi dan Kristen baik di kalangan pemeluk agama lain (misalnya, Majusi), atau ditengah orang Arab  pagan. Disamping itu, adalah merupakan tradisi umat Yahudi dan Kristen Arabia unuk menggandengkan rumah ibadah mereka-sinagong dan gereja-dengan kuttab dan lembaga fatwa. Yang pertama berfungsi memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak, yang kedua menjawab pertanyaan dan menyelasaikan sengketa yang terjadi di tengah umat mereka. Dan menurut Jawad ‘Ali, banyak orang Arab Jahiliyyah yang memanfaatkan kehadiran orang Yahudi dan Kristen untuk belajar tentang sejarah, Nabi-nabi, maupun hal-hal lainnya.
Ringkasan kata menjelang datangnya Islam, bangsa Arab pada dasarnya telah mengembangkan satu kegiatan sastra, terutama dalam bentuk puisi. Meskipun sistem ekspresi dan transmisi yang dominan adalah lisan, tulisan telah mulai dikenal secara terbatas. Paling tidak untuk kalangan tertentu (Yahudi dan Kristen) pendidikan yang terstruktur, meskipun masih sangat sederhana, sudah mulai berkembang.[3]
Dalam memberikan pembinaan umat di Mekkah, ada 2 bidang pokok yang digarap oleh Rasulullah, yaitu:
1.    Pendidikan tauhid, dalam teori dan praktek
Sebagaimana dikemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW, dalam melaksanakan tugas kerasulannya, berhadapan dengan nilai-nilai warisan Ibrahim yang telah banyak menyimpang dari sebenarnya. Inti warisan tersebut adalah ajaran tauhid. Tetapi ajaran tersebut dalam budaya yang dihadapi oleh Muhammad, telah pudar dalam budaya masyarakat bangsa Arab Jahiliyyah. Penyembahan terhadap berhala-berhala dan perbuatan syirik lainnya, menyelimuti ajaran tauhid. Nama Allah, sebagai pencipta alam, bumi langit dan seisinya. Memang masih ada dalam kepercayaan mereka. Tetapi larut dalam nama-nama berhala dan sesembahan lainnya. Inilah tugas Muhammad, yaitu unuk memancarkan kembali sinar tauhid dalam kehidupan umat manusia umumnya, dan yang pertama-tama dihadapinya adalah kehidupan bangsa Arab pada masanya. Dan ini pula intisari pendidikan Islam pada masa atau periode Mekkah.
Muhammad memperoleh kesadaran dan penghayatan yang mantap tentang ajaran tauhid, yang intisarinya adalah sebagaimana tercermin dalam surat al-Fatihah. Pelaksanaan tauhid dalam surat al-Fatihah tersebut ternyata jelas-jelas bertentangan dengan praktek kehidupan sehari-hari umat yang dihadapinya, sehingga dengan demikian wajarlah kalau pada mulanya ia mendapatkan tantangan yang hebat. Inilah sebabnya, kebijaksanaan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW dalam usahanya menyampaikan pengertian ajaran tauhid dilakukannya secara bertahap, dimulai dengan keluarga terdekat dan dengan sembunyi-sembunyi, baru kemudian secara terbuka dan kepada kalangan luas dalam masyarakat Arab.
Pelaksaan praktek pendidikan tauhid tersebut diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umatnya dengan cara yang sangat bijaksana, dengan menuntun akal fikiran untuk mendapatkan dan menerima pengertian tauhid yang diajarkan, dan sekaligus beliau memberikan teladan dan contoh bagaimana pelaksanaan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara konkrit. Kemudian beliau memerintahkan agar umatnya mencontoh praktek praktek pelaksanaan tersebut sesuai apa yang dicontohkannya.
Pertama-tama Nabi Muhammad SAW dalam rangka memberikan pendidikan tauhid ini, mengajak umatnya untuk membaca, memperhatikan dan memikirkan kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau mengajarkan cara bagaimana merealisir pengertian tauhid tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Semua kebiasaan kehidupan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan pengertian tauhid, diubah dan diluruskan secara berangsur-angsur, sehingga sesuai dengan kebenaran ajaran tauhid.
2.    Pengajaran Al-Qur’an di Mekkah
Al-Qur’an adalah merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran Islam yang disampaikan oleh Muhammad SAW kepada umatnya. Tugas Muhammad disamping mengajarkan tauhid juga mengajarkan Al-Qur’an kepada umatnya, agar secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya, yang selanjutnya akan menjadi warisan ajaran secara turun temurun, dan menjadi pegangan dan pedoman hidup bagi kaum muslimin sepanjang zaman.[4]Tujuan terpenting al-Qur’an diturunkan kepada manusia adalah mendidik mereka dengan metode mengajak, mengkaji, membaca, belajar dan melakukan observasi ilmiah tentang fenomena penciptaan manusia sejak masih berbentuk segumpal darah beku didalam rahim ibunya.[5] Selain itu juga bertujuan agar ruh al-Qur’an senantiasa tertanam pada jiwa mereka cahaya al-Qur’an memancar pada pemikiran, pandangan, dan indra mereka. Dan bertujuan pula agar mereka menerima aqidah-aqidah al-Qur’an sejak dini, tumbuh dan beranjak dewasa senantiasa mencintai al-Qur’an, kontak dengannya, menjalankan perintah-perintahnya, dan menjauhi larangan-larangannya dan berakhlak seperti akhlak al-Qur’an, serta berjalan diatas prinsip-prinsipnya.[6]  
Ada beberapa faktor yang memungkinkan Muhammad SAW mengajarkan al-Qur’an dengan baik dan sempurna. Masyarakat bangsa Arab pada masa itu dikenal sebagai masyarakat yang ummi yang pada umumnya tidak dapat membaca dan menulis. Hanya beberapa orang saja yang dapat menulis dan membaca memberi indikasi bahwa baca tulis belum membudaya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Tradisi budaya mereka adalah tradisi budaya lisan, warisan budaya mereka diwariskan pula secara lisan. Mereka mempunyai tradisi menghafal syair-syair dan puisi-puisi yang indah,nasab (uruan garis keturunan)pun mereka hafalkan. Mereka mewariskan tradisi tersebut secara lisan, sehingga kepandaian membaca dan menulis tidak merupakan hal yang penting dalam tradisi budaya mereka. Dengan tradisi lisan tersebut, mereka terkenal sebagai orang-orang yang kuat hafalan.
Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah untuk membaca, lalu ia membaca situasi sekitarnya dan situasi masyarakat yang menjadi sasaran tugasnya. Ia melihat potensi pengikutnya yang kuat hafalannya, dan potensi sebagian dari mereka yang pandai tulis baca. Situasi dan potensi umatnya tersebut sangat cocok bagi pengajaran Al-Qur’an. Disamping itu Allah telah menyampaikan Al-Qur’an kepada Muhammad secara berangsur-angsur, sedikit demi sedikit, sehingga lebih memudahkan bagai Muhammad untuk mengajarkan Al-Qur’an tersebut pada umatnya.
Tiap turun wahyu, yang biasanya terdiri dari beberapa ayat Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW langsung menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada para sahabatnya ,dengan jalan membacakan bunyi ayat (wahyu) tersebut sebagaimana yang Ia terima dari Allah. Setelah ia membacakanya secara lengkap, ia memerintahkan kepada sahabat agar membaca dan menghafalkan sesuai betul dengan yang dikatakanya. Potensi hafal mereka yang kuat telah menolong mereka unuk menghafal ayat-ayat tersebut dengan baik. Kemudian Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat tersebut sesuai dengan yang di bacakan oleh beliau dan yang mereka hafalkan. Demikianlah kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW dalam setiap turun wahyu. Beliau selalu memerintahkan untuk menghafalkan baik-baik dan menuliskan baik-baik pula. Kemudian beliau mengatur dan mengucapkan urutan ayat-ayat yang baru turun digabungkan dengan yang telah turun sebelumnya. Tiap-tiap telah cukup sesurat turunnya, Nabi Muhammad memberi nama surat itu sebagai tanda yang membedakan surat itu dengan surat lainnya. Beliau memerintahkan untuk meletakkan basmalah di permulaan surat yang baru atau di akhir surat yang terdahulu.
Setelah Umar bin Khattab memeluk agama Islam mereka dengan bebas membaca dan mempelajari al-Qur’an. Nabi Muhammad selalu menganjurkan kepada para sahabatnya supaya al-Qur’an dihafal dan selalu dibaca dan diwajibkan membacanya beberapa dari ayat-ayatnya dalam shalat, sehingga kebiasaan membaca ayat al-Qur’an tersebut merupakam bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, menggantikan kebiasaan membaca syair-syair indah pada masa sebelum islam. Agar al-Qur’an tidak tercampur dengan hal-hal lain maka nabi Muhammad SAW memberikan perintah agar hanya al-Qur’an sajalah yang dituliskan. Sabda beliau atau pelajaran-pelajaran lainpun dilarang utnuk ditulis.
Selanjutnya untuk memantabkan al-Qur’an dalam hafalan mereka, Nabi Muhammad SAW sering melakukan ulangan terhadap hafalan para sahabat tersebut, beliau menyuruh para sahabat untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’an dihadapanya, kemudian beliau membetulkan hafalan dan bacaan mereka, jika terjadi kekeliruan atau kesalahan. [7]
Mahmud Yunus mengklasifikasikan pada fase Mekkah terdapat tiga macam intisari materi pelajaran yang diberikan di Mekkah; yaitu keimanan, ibadah dan akhlak. Dapat diuraikan sebagai berikut : pertama, pendidikan keimanan. Materi keimanan yang menjadi pokok  pertama adalah iman kepada Allah Yang Maha Esa, beriman bahwa Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah, diwahyukan kepada al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengajaran bagi seluruh umat manusia. Kedua, pendidikan ibadah. Amal ibadah yang diperintahkan di Mekkah ialah sholat, sebagai pernyataan mengabdi kepada Allah, ungkapan syukur, membersihkan jiwa, dan menghubungkan hati kepada Allah. Ketiga, pendidikan akhlak. Nabi menganjurkan penduduk Mekkah yang telah masuk Islam agar melaksanakan akhlak yang baik, seperti adil, menepati janji, pemaaf, tawakal, bersyukur atas nikmat Allah, tolong menolong, berbuat baik kepada ibu bapak, memberi makan orang miskin dan orang musafir; dan meninggalkan akhlak yang buruk.[8]
B.   Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan di Mekkah
Visi pendidikan di Mekkah atau sebelum hijrah adalah “Unggul dalam bidang aqidah akhlak sesuai dengan nilai-nilai Islam”.
Visi ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang turun di Mekkah yang berkaitan dengan pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al (perbuatan ) Allah, misalnya surat al-A’raaf (surat ketujuh) atau surat al-Ikhlas, yang menurut Hadist Rasulullah SAW sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan taukhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
Selain itu, ayat-ayat yang turun di mekkah juga berisi keterangan mengenai dasar-dasar akhlaq Islamiah serta bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat Jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca misalnya, dalam surat at-Takatsur, satu surat yang mengecam mereka yang menumpuk harta; dan surat al-ma’un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
Sejalan dengan visi tersebut, maka misi pendidikan yang berlangsung di Mekkah dapat di kemukakan sebagai berikut:
1)  Memperkuat dan memperkukuh status dan kepribadian Muhammad sebagai Nabi dan Rasulullah SAW yang memiliki aqidah dan keyakinan yang kukuh terhadap pertolongan Allah SWT, berbudi pekerti mulia, dan memiliki komitmen yang tinggi untuk menegakkan kebenaran di muka bumi. Seperti dalam surat al-Mudatsir 1-7.
$pkšr'¯»tƒ ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ   óOè% öÉRr'sù ÇËÈ   y7­/uur ÷ŽÉi9s3sù ÇÌÈ   y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ   tô_9$#ur öàf÷d$$sù ÇÎÈ   Ÿwur `ãYôJs? çŽÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ   šÎh/tÏ9ur ÷ŽÉ9ô¹$$sù ÇÐÈ  

2)     Memberikan bimbingan kepada Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengemban misi kebenaran. Hal ini dapat di pahami dari surat al-Mujammil 1-5 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ ã@ÏiB¨ßJø9$# ÇÊÈ   ÉOè% Ÿ@ø©9$# žwÎ) WxÎ=s% ÇËÈ   ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr& óÈà)R$# çm÷ZÏB ¸xÎ=s% ÇÌÈ   ÷rr& ÷ŠÎ Ïmøn=tã È@Ïo?uur tb#uäöà)ø9$# ¸xÏ?ös? ÇÍÈ   $¯RÎ) Å+ù=ãZy šøn=tã Zwöqs% ¸xÉ)rO ÇÎÈ  
3)     Memberikan peringatan dan bimbingan akhlaq mulia kepada keluarga dan kerabat dekat Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat di pahami dari surat asy-Syuraa 214-216 yang berbunyi:
öÉRr&ur y7s?uŽÏ±tã šúüÎ/tø%F{$# ÇËÊÍÈ   ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ Ç`yJÏ9 y7yèt7¨?$# z`ÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÊÎÈ   ÷bÎ*sù x8öq|Átã ö@à)sù ÎoTÎ) Öäü̍t/ $£JÏiB tbqè=yJ÷ès? ÇËÊÏÈ  
Adapun tujuan pendidikan di Mekkah adalah membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, sebagai landasan bagi mereka dalam menjalani kehidupan-nya dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Tujuan ini sejalan dengan tujuan di turunkannya al-Qur’an yang antara lain untuk memberikan petunjuk bagi orang-orang yang beriman, menyembuhkan mentalnya yang sakit, mengeluarkan manusia dari kesesatan menuju jalan terang benderang, mengubah mental Jahiliah menjadi mental yang cerdas, dan mempersatukan manusia dari bahaya perpecahan dan peperangan.
Lahirnya visi, misi, dan tujuan pendidikan di Mekkah seperti itu tidak dapat dilepaskan dari keadaan masyarakat Mekkah yang pada saat itu masih belum mengenal agama yang hakiki. Mereka masih menganut agama nenek moyangnya, yaitu agama musyrik yang menyembah banyak Tuhan yang merupakan buatan mereka sendiri. Mereka juga masih belum mengenal akhlak yang mulia. Mereka masih gemar berjudi, berzina, mabuk-mabukan, merampok, melakukan praktek riba, dan menghalalkan segala cara. Mereka masih berada dalam kesesatan yang nyata (fi dhalal a-mubin), masih belum mengenal kebenaran (jahiliah), masih suka berperang (a’daan), membuat kerusakan di muka bumi (yufsiduna fi al-ardl), dan belum mengenal agama (fi dzulumat).[9]

C.    Pendidikan Pada Fase Madinah
Pada fase Madinah materi pendidikan yang diberikan cakupannya lebih kompleks dibanding dengan materi pendidikan fase Mekkah. Diantara pelaksanaan pendidikan Islam di Madinah adalah:
1.   Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara kaum muslimin. Dalam melaksanakan pendidikan ukhuwah ini, Nabi Muhammad SAW. Bertitik tolak dari struktur kekeluargaan yang ada pada masa itu. Untuk mempersatukan keluarga itu Nabi Muhammad SAW berusaha untuk mengikatnya menjadi satu kesatuan yang terpadu. Mereka dipersaudarakan karena Allah bukan karena yang lain-lain. Sesuai dengan isi konstitusi Madinah pula, bahwa antara orang yang beriman, tidak boleh membiarkan saudaranya menanggung beban hidup dan utang yang berat diantara sesama mereka. Antara orang yang beriman satu sama lainnya haruslah saling bantu membantu dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka harus bekerja sama dalam mendatangkan kebaikan, mengurus kepentingan bersama, dan menolak kemudharatan atau kejahatan yang akan menimpa.
2.   Pendidikan kesejahteraan sosial. Terjaminnya kesejahteraan sosial, tergantung pertama-tama pada terpenuhinya kebutuhan pokok daripada kehidupan sehari-hari. Untuk itu, setiap orang harus bekerja mencari nafkah. Untuk mengatasi masalah pekerjaan tersebut, Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kaum Muhajirin yang telah dipersaudarakan dengan kaum Anshor, agar mereka bekerja bersama dengan saudara-saudaranya tersebut. Mereka kaum Muhajirin yang biasa bertani silahkan mengikuti pertanian, yang biasa berdagang silahkan mengikuti saudara yang berdagang. Untuk pengamanan,Nabi Muhammad SAW membentuk satuan-satuan pengamat yang mendapat tugas untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan terjadinya serangan dan gangguan terhadap kehidupan kaum muslimin. Satuan-satuan ini adalah merupakan embrio dari pasukan yang bertugas untuk mengamankan dan mempertahankan serta mendukung tugas-tugas dakwah Islam lebih lanjut.
3.   Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat.  yang dimaksud dengan keluarga adalah suami, istri, dan anak-anaknya. Nabi Muhammad SAW berusaha untuk memperbaiki keadaan itu dengan memperkenalkan dan sekaligus menerapkan sistem kekeluargaan kekerabatan baru, yang berdasarkan takwa kepada Allah.
4.   Pendidikan Hankam (pertahanan dan keamanan) dakwah Islam
Masyarakat kaum muslimin merupakan satu state (negara) dibawah bimbingan Nabi Muhammad SAW yang mempunyai kedaulatan.[10]

D.    Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan di Madinah
Visi pendidikan di Madinah atau sesudah Hijrah adalah ‘’unggul dalam bidang keagamaan, moral, sosial ekonomi, dan kemasyarakatan, serta penerapannya dalam kehidupan.’’
Visi ini sejalan dengan ayat al-Qur’an yang turun di Madinah yang menggunakan kata-kata yang membangkitkan semangat untuk menerapkan nilai ajaran agama dalam kehidupan. Misalnya ayat at-Taubah ayat 13-14 yang berbunyi:
Ÿwr& šcqè=ÏG»s)è? $YBöqs% (#þqèWs3¯R óOßguZ»yJ÷ƒr& (#qJydur Æl#t÷zÎ*Î/ ÉAqߧ9$# Nèdur öNà2râäyt/ š^¨rr& Bo§tB 4 óOßgtRöqt±øƒrBr& 4 ª!$$sù ,ymr& br& çnöqt±øƒrB bÎ) OçFZä. šúüÏZÏB÷sB ÇÊÌÈ   öNèdqè=ÏF»s% ÞOßgö/Éjyèムª!$# öNà6ƒÏ÷ƒr'Î/ öNÏdÌøƒäur öNä.÷ŽÝÇZtƒur óOÎgøŠn=tæ É#ô±our urßß¹ 7Qöqs% šúüÏZÏB÷sB ÇÊÍÈ  
Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir rasul dan merekalah yang pertama kali memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang beriman. Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.(QS. At-Taubah (9):13-14).

Selain itu, secara silih berganti, terdapat juga ayat-ayat yang menerangkan akhlak dan suluk (cara beribadah) yang harus diikuti oleh setiap muslim dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya surat an-Nur ayat 27 yang berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? $·?qãç/ uŽöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcr㍩.xs? ÇËÐÈ  
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekaliyan mendapat peringatan.(QS.an-Nur(24):27).

Selain ayat-ayat yang mengajak berdialog dengan orang-orang mukmin banyak juga ayat yang ditunjukkan kepada orang-orang munafik, ahli kitab, dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah, misalnya dalam surat Ali-Imron yang berbunyi:
ö@è% Ÿ@÷dr'¯»tƒ É=»tGÅ3ø9$# (#öqs9$yès? 4n<Î) 7pyJÎ=Ÿ2 ¥ä!#uqy $uZoY÷t/ ö/ä3uZ÷t/ur žwr& yç7÷ètR žwÎ) ©!$# Ÿwur x8ÎŽô³èS ¾ÏmÎ/ $\«øx© Ÿwur xÏ­Gtƒ $uZàÒ÷èt/ $³Ò÷èt/ $\/$t/ör& `ÏiB Èbrߊ «!$# 4 bÎ*sù (#öq©9uqs? (#qä9qà)sù (#rßygô©$# $¯Rr'Î/ šcqßJÎ=ó¡ãB ÇÏÍÈ  
Katakanlah: Hai ahli kitab , marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah, jika mereka berpaling maka katakanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah) (QS.Ali-imron (3):64).

Sejalan dengan visi tersebut,maka pendidikan yang berlangsung di Madinah memilliki misi: (1) memberikan bimbingan kepada kaum muslimin menuju jalan yang diridhoi Tuhan; (2) mendorong kaum muslimin untuk berjihad dijalan Allah (3) memberikan didikan akhlak yang sesuai dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman, takut); (4) mangajak kelompok diluar Islam (Yahudi dan Nasrani) agar mematuhi dan menjalankan agamanya dengan sholeh, sehingga mereka dapat hidup tertib dan berdampingan dengan umat Islam; (5) menyesuaikan didikan dan dakwah dengan keadaan masyarakat saat itu. Antara lain dengan mengungkapkan sejarah bangsa-bangsa yang hidup disekitar jazirah Arab, dan peristiwa yang dibawakan adalah peristiwa mereka.
Tujuan pendidikan yang diselenggarakan di Madinah adalah membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran dan tanggungjawab yang besar dalam mewujudkan cita-cita Islam, yakni mewujudkan masyarakat yang diridhoi Allah SWT dengan cara menjalankan syari’at Islam seutuhnya.[11]

IV.            KESIMPULAN
Ciri pokok pembinaan pendidikan Islam di Mekkah adalah pendidikan tauhid (dalam artinya yang luas), maka pada periode Madinah ini, ciri pokok pembinaan pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan politik (dalam artinya yang luas pula). Tetapi sebenarnya antara kedua kedua ciri tersebut bukanlah merupakan dua hal yang bisa dipisahkan satu sama lain. Kalau pembinaan pendidikan Islam di Mekkah titik beratnya adalah menanamkan nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim, agar dari jiwa mereka terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pembinaan pendidikan di Madinah pada hakikatnya adalah merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Mekkah, yaitu pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial politiknya merupakan cermin dan pantulan sinar tauhid tersebut.

V.              PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat. Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan karena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi. Kami berharap bagi pembaca dapat berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun, demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, amin











[1] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam.(Jakarta:Direktorat Jenderal Pembinaan       Kelembagaan Agama Islam, 1986). Hlm 18-20
[2] Fatah Syukur. Sejarah Pendidikan Islam.(Semarang: Pustaka Rizki Putra,2012). Hlm. 18-20

[3] Hasan Asari. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. (Bandung: Mizan, 1994). Hlm 18
[4] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Hlm 23-28
[5] Moh. Slamet Untung. Menelusuri Metode Pendidikan ala Rasulullah. (Semarang:Pustaka Rizki Putra,2007). Hlm 55
[6] M. Alawi Al-Maliki. Prinsip Pendidikan Rasulullah.(Jakarta: Gema Insani Press,2002). Hlm 29
[7] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Hlm. 28-30
[8] Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: KENCANA,2007). Hlm 12
[9]Abuddin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: KENCANA,2011). Hlm 78-81
[10] Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. Hlm 38-39
[11] Abuddin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. Hlm 91-93
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar