Sabtu, 13 Desember 2014

Makalah Hadits




FUNGSI DAN KEDUDUKAN HADITS
MAKALAH
Dipresentasikan Dalam Mata Kuliah
Ulumul Hadits
Yang Diampu Oleh:  Titik Rahmawati M. Ag.


Disusun oleh:
Ma’rifatun                  (133311009)
Irrodatus Salamah      (133311035)
Durrotun Nafisah        (133311036)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
      INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO  SEMARANG
TAHUN 2014


       I.          PENDAHULUAN
Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
Mengenai islan agama yang di bawa oleh Nabi Ibrahim dan agama manusia sebelumnya, dinyatakan dalam al-qur`an sebagai berikut :
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
        
Artinya :
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".(Qs al-baqarah ,ayat 132).

Islam adalah agama Allah yang di wahyukan kepada rasul-rasulnya untuk di ajarkan kepada manusia. Ia dibawa secara berantai dari satu generasi ke generasi lain, selanjutnya dari satu angktan ke angkatan berikutnya. Itu adalah rahmat hidayah dan petunjuk bagi manusia.
Meskipun demikian tidak berarti semua sama persis antara islam yang di bawa Nabi Muhammad SAW dengan islam yang di bawa Nabi sebelumya.

Firman Allah sebagai berikut :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Artinya :
            ``Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu``



     II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana kedudukan hadist dalam ajaran Islam?
B.    Bagaimana fungsi hadist dalam ajaran Islam?
C.    Bagaimana perbedaan pendapat yang terjadi para ulama tentang fungsi hadist dalam ajaran Islam?
   III.          PEMBAHASAN
A.    Kedudukan hadits  dalam ajaran Islam
Kedudukan hadist berkaitan langsung dengan kedudukan kenabian. Karena itu, mengetahui kedudukan ini dapat diperoleh dengan cara mengetahui kedudukan Nabi SAW dan sunahnya, terutama dari keterangan yang dapat diperoleh dari al-Qur’an.
Di dalam al-Qur’an dijumpai sejumlah keterangan bahwa Nabi SAW mempunyai tugas dan peran. Misalnya: disebutkan sebagai penjelas al-Qur’an, sebagai teladan yang wajib dicontoh, sebagai Rasul yang wajib ditaati, dan sebagai pembuat aturan selain al-Qur’an. Keterangan mengenai kedudukan diatas akan dilihat berikut ini:
1.     Sebagai penjelas al-Qur’an
Al-Qur’an surat an-nahl ayat 44
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,

Diantara tugas Rasul SAW, menurut ayat diatas adalah menjelaskan baik dengan lisan maupun perbuatan hal-hal yang masih global dan masih umum sifatnya atas apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Tugas menjelaskan ini tentu turun dari Allah SAW, tugas ini jelas bukan sekadar membacakan, melainkan ditujukan untuk memperjelas isi al-Qur’an, utamanya hal-hal yang memerlukan penjelasan praktis dari Nabi melalui hadist-hadist yang disampaikan. Dari kedudukan Rasul SAW demikian, maka kedudukan hadist terhadap al-Qur’an yang pertama ini dapat disebut untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an. Dengan sebutan lain, hadist berkedudukan sebagai “penafsir” al-Qur’an.
2.     Sebagai teladan yang wajib dicontoh
Allah SAW berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$#
 tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  

“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”

Dari ayat di atas jelas bahwa Rasul SAW memiliki kedudukan penting ditengah-tengah kaumnya, terutama menghadapi problema mereka berkenaan dengan figure atau profil tokoh riil yang baikuntuk dicontoh.
Dari kedudukan Rasul diatas, maka kedudukan hadist dalam islam adalah sebagai contoh nyata untuk diteladani oleh segenap umat manusia.
3.     Sebagai pedoman yang wajib ditaati selain al-Qur’an
Dalam surat al-Anfal ayat 20, Allah berifrman:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# ¼ã&s!qßuur Ÿwur (#öq©9uqs? çm÷Ytã óOçFRr&ur tbqãèyJó¡n@ ÇËÉÈ  
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)

Dari ayat-ayat di ats jelas bahwa kedudukan hadist di dalam islam adalah sebagai ketentuan yang harus dipatuhi, seiring dengan di patuhinya al-Qur’an. Keduanya merupakan sistem dan hukum Allah SWT yang diturunkan ditengah-tengah kehidupan umat manusia sebagai sunnah hukum dan sistem kehidupan.
4.     Sebagai pembuat aturan selain al-Qur’an
Firman Allah SWT dalam surat al-Najm ayat 3-4
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
“3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. 4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Dari keternangan-keterangan ayat diatas jelas bahwa memakai ayat saja dengan meninggalkan hadist jelas tidak mungkin dan merupakan tindakan yang tidak dibenarkan. Maka kedudukan hadist amatlah penting bagi umat islam agar dapat memahami al-Qur’an.[1]
B.    Fungsi hadist terhadap al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itulah kehadiran hadist, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai firman Allah SWT:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ  
keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan”.
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar  al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadist-hadistnya.
1.     Bayan at-Taqrir
Bayan al-Taqrir disebut juga dengan bayan al-Ta’kid dan bayan al-Itsbat. Yang di maksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadist dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
Contoh hadist yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi sebagai berikut:

قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ مَنْ اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَّضَّأ  (رَوَاهُ الْبُخَارِى)
           
Rasul SAW telah bersabda: Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu”. (HR. Bukhari).
Hadist ini mentaqrir QS. Al-Maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat. Ayat dimaksud berbunyi:
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur
 n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# ….4 ÇÏÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki….”
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-Muwafiq li al-Nas al-Kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadist-hadist itu sealur (sesuai) dengan nas al-Qur’an.[2]
2.     Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-Tafsir adalah bahwa kehadiran hadist berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/ batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
a.   Merinci ayat-ayat yang mujmal
Yang dimaksud dengan mujmal, ialah ayat yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini tersebut karena belum jelas makna yang dimaksudnya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian.
Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-Tafsir:
صَلُّوا كَمَا رَأَىْتُمُونِى أُصَلِّى (رَوَاه ُ البُخَارى)
“ Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”.
Hadist ini mejelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah QS. Al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang orang yang ruku”.
b.     Men-taqyid ayat-ayat yang muthlaq
Kata muthlaq artinya kata yang menunjukkan pada hakikat kata itu sendiri, apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang muthlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu.
Sedagkan contoh hadist yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah SAW:
أُتِىَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ مِنْ مِفْصَلِ الْكَفِّ
Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.
Hadist ini men-taqyidkan QS. Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ÷ƒr& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#u           
r îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÌÑÈ  
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
c.      Men-takhsis ayat yang ‘am
Yang dimaksud dengan men-takhsis yang ‘am adalah membatasi keumuman ayat al-Qur’an sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka para ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadits ahad. Menurut as-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa di-takhsis-kan oleh hadits ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang khas, sedangkan menurut ulama Hanafiyah, sebaliknya.
Sedangkan contoh hadist yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Qur’an adalah:
نَحْنُ مَعَا شِرَ الْاَنْبِيَاءِ لاَ نُوْرِثُ مَا تَرَكْنَاهُ
“Kami para Nabi tidak meninggalkan harta warisan”
قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلاَالْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (رواه البخارى)
Nabi SAW bersabda: “ Tidaklah orang muslim mewarisi dari orang Kafir, begitu juga kafir tidak mewarisi dari orang Muslim.”
Kedua hadist tersebut mentakhsiskan keumuman QS. Al-Nisa’ ayat 11:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 ÇÊÊÈ  
“ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…”.[3]
3.     Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl) saja. Abbas Mutawalli Hammadah juga menyebut bayan ini dengan “Za’id ‘ala al-kitab al-karim”. Hadist Rasul SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li, maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Qur’an. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinyadengan menunjukkan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.
Hadist-hadist Rasul SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadist tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan dan hukum tentang hak waris bagi seorang anak. Suatu contoh hadist tentang zakat fitrah sebagai berikut:

أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا
 مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مَنْ شَعِيْرٍ عَلَى كُلِّ حُرِّ أَوْعَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْأُنْثَى مِنَ الْمُسْلِميْنَ (رواه المسلم)

“Bahwasannya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan Muslim”. (HR. Muslim)
Hadist Rasul SAW yang termasuk bayan at-Tasyri’ ini, wajib diramalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadist-hadist Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-Qur’an melainkan semata-mata karena perintah-Nya.

4.     Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan diatas disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisi (pengertian) nya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadist sebagai nasikh terhadap sebagian hukum al-Qur’an da nada juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, Karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak diamalkan lagi, dan syari’ (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).[4]
C.    Perbedaan pendapat para ulama mengenai fungsi hadist
1.     Pendapat Ahl ar-Ra’yi
Menurut pendapat ulama Ahl ar-Ra’yi, penerangan al-hadits terhadap al-Qur’an terbagi tiga:
a.      Bayan Taqrir
b.     Bayan Tafsir
c.      Bayan Tabdil (Bayan Nasakh)
2.     Menurut pendapat Malik
Malik berpendirian bahwa bayan (penerangan)al-Hadits itu terbagi kepada:
a.      Bayan at-Taqrir
b.     Bayan at-Taudhih (Tafsir)
c.      Bayan at-Tafshil
d.     Bayan al-Basthy
Yakni memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh al-Qur’an.
e.      Bayan Tasyri
3.     Pendapat Asy-Syafi’y
Asy-Syafi’y  di antara  ulama Ahli al-Atsar menetapkan, bahwa penjelasan al-Hadits terhadap al-Qur’an terbagi lima, yaitu:
a.      Bayan Tafshil, menjelaskan ayat-ayat yang mujmal (yang sangat ringkas petunjuknya)
b.     Bayan Takhsish, menentukan sesuatu dari ayat yang umum
c.      Bayan Ta’yin, menentukan nama yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudnya
d.     Bayan Tasyri’, menetukan sesuatu hukum yang tidak didapati dalam al-qur’an.
e.      Bayan Nasakh, menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatan berlawanan.
4.     Ahmad bin Hambal
Ahmad bin Hambal menyebutkan empat fungsi, yaitu:
a.      Bayan at-Ta’qid
b.     Bayan at-Tafsir
c.      Bayan at-Tasyri’
d.     Bayan at-Takhsish
5.     Ibnu al-Qoyyim
Ibnu al-Qoyyim telah menerangkan pendapat Ahmad dalam soal ini dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in, bahwa keterangan al-Hadits terhadap al-Qur’an terbagi empat:
a.      Bayan Ta’kid (bayan Taqrir)
b.     Bayan Tafsir
c.      Bayan Tasyri
d.     Bayan Takhsish dan Taqyid










    








[1] M. Erfan soebahar. Periwayatan dan Penulisan Hadist Nabi. Semarang: FITK. 2012, hlm. 14-20
[2] Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996. Hlm 27-29.
[3] Sohari. Sahrani. Ulumul Hadits. Bogor: Ghali Indonesia, 2010. Hlm 39-41
[4] Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadits.., hlm 33-37
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar