SISTEM PELAKSANAAN PENDIDIKAN ISLAM PERIODE MEKKAH DAN MADINAH
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Muslih MZ, M.A
Disusun Oleh :
Irrodhatus Salamah (133311035)
Durrotun Nafisah (133311036)
Eny Miftahul Janah
(133311037)
Muthi’un Nutfi Nidaiyah
(133311038)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH & KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Dalam pendidikan Islam, Rasullullah SAW adalah pendidik pertama
dan terutama dalam dunia pendidikan
Islam. Proses transformasi ilmu pengetahuan, internalisasi nilai-nilai
spiritualisme dan bimbingan emosional yang dilakukannya dapat dikatakan sebagai
mu’jizat luar biasa, yang manusia apa dan dimanapun tidak dapat melakukan hal
yang sama.
Gambaran dan pola pendidikan Islam di periode Rasullullah SAW fase Mekkah
dan Madinah
merupakan sejarah masa lalu yang perlu diungkapkan kembali, sebagai bahan
perbandingan, sumber gagasan, gambaran strategi menyukseskan
pelaksanaan proses pendidikan Islam. Pola pendidikan di masa Rasulullah SAW
tidak lepas dari metode evaluasi, materi, kurikulum, pendidik, peserta didik,
lembaga, dasar, tujuan dan sebagainya yang bertalian dengan pelaksanaan
pendidikan Islam, baik secara teoretis maupun praktis.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana pendidikan di Mekkah?
B.
Bagaimana visi, misi dan tujuan pendidikan di Mekkah?
C.
Bagaimana pendidikan di Madinah?
D.
Bagaimana visi, misi dan tujuan pendidikan di Madinah?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan pada Fase Mekkah
Sebelum Muhammad memulai tugasnya sebagai Rasul, yaitu melaksanakan
pendidikan Islam terhadap umatnya, Allah telah mendidik dan mempersiapkannya
untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna, melalui pengalaman,
pengenalan serta peran sertanya dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan
budayanya, dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, ia mampu secara sadar
mengadakan penyesuaian diri dengan masyarakat lingkungannya, tetapi tidak larut
sama sekali kedalamnya Ia mampu menyelami kehidupan masyarakatnya, dan dengan
potensi fitrahnya yang luar biasa mampu mempertahankan keseimbangan dirinya
untuk tidak hanyut terbawa arus budaya masyarakatnya. Bahkan Ia
mampu menemukan mutiara-mutiara Ibrahim yang sudah tenggelam dalam lumpur
budaya masyarakat tersebut.
Dalam usahanya menemukan kembali mutiara warisan Nabi Ibrahim,
Muhammad menempuh jalan merenung dan memikirkan keadaan dan situasi masyarakat
sekitarnya. Haekal melukiskan: “Di kalangan masyarakatnya, dialah orang yang
paling banyak berpikir merenung. Jiwa yang kuat dan berbakat ini, jiwa yang
sudah mempunyai persiapan kelak akan menyampaikan risalah Tuhannya kepada umat
manusia, serta mengantarkannya kepada kehidupan rohani yang hakiki, jiwa
demikian tidak mungkin berdiam diri saja melihat manusia yang sudah hanyut ke
dalam lembah kesesatan. Sudah seharusnya Ia
mencari petunjuk dalam alam semesta ini, sehingga Tuhan nanti menentukannya
sebagai orang yang akan menerima risalah-Nya”.
Diantara tradisi yang terdapat dikalangan masyarakatnya, yang
rupanya juga warisan Ibrahim adalah tradisi bertahannus, yaitu suatu cara
menjauhkan diri dari keramaian orang, berkhalwat dan mendekatkan diri pada
Tuhan, dengan bertapa dan berdo’a mengharapkan diberi rejeki dan pengetahuan.
Muhammad pun sering melakukan tahannus ini, untuk mendapatkan petunjuk dan
kebenaran dari Tuhan. Ia sering melakukan tahannus tersebut di Gua Hira. Disanalah
Ia
mendapatkan apa yang dicarinya, yaitu kebenaran dan petunjuk yang berasal dari
Allah. Disana pula lah Muhammad dilantik oleh Allah menjadi Rasul, menjadi
pendidik bagi umatnya.
Menjelang pengangkatannya sebagai Rasul Allah, dalam tahannus atau
khalwatnya di Gua Hira, pada bulan Ramadhan, datanglah kepastian dalam dirinya
bahwa Ia
telah mendapatkan kebenaran yang dicarinya itu. Haekal melukiskan: “Setelah
beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh kebenaran tertinggi itu dalam tidurnya Ia
bertemu dengan mimpi hakiki, yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini
dicarinya. Bersamaan dengan itu pula dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu
daya dengan segala macam kemewahan yang tiada berguna. Ketika itulah Ia
yakin benar-benar bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar. Hidup
kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada berhala-berhala serta
kepercayaan-kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya. Semua yang
sudah pernah disebutkan oleh kaum Yahudi dan kaum Nasrani tak dapat menolong
mereka dari kesesatan itu. Apa yang disebutkan mereka itu masing-masing memang
benar; tetapi masih mengandung bermacam-macam tahayul dan pelbagai macam cara
paganisme, yang tidak mungkin sejalan dengan kebenaran sejati, kebenaran mutlak
yang tidak mengenal segala macam spekulasi perdebatan kosong, yang menjadi
pusat perhatian kedua golongan ahli kitab itu. Dan kebenaran itu ialah Allah, Khaliq
seluruh alam, tak ada tuhan selain Dia. Kebenaran itu ialah Allah, pemelihara
alam semesta. Dialah Maha Rahman dan Maha Rahim. Kebenaran itu ialah bahwa
manusia dinilai berdasarkan perbuatannya. Barang siapa mengerjakan kebaikan
seberat atom pun akan dilihat-Nya, dan barang siapa mengerjakan kejahatan
seberat atompun akan dilihat-Nya pula. Dan bahwa surga itu benar adanya dan
neraka pun benar adanya. Mereka yang menyembah Tuhan
selain Allah adalah menghuni neraka, tempat tinggal dan kediaman yang paling
durjana”.
Kebenaran itulah intisari ajaran Ibrahim, dan pokok-pokok kebenaran
yang dihayati oleh Muhammad yang kemudian terumuskan dalam kalam Illahi
sebagaimana dalam surat al-Fatihah. Dengan bekal kesadaran demikian, Muhammad
diutus oleh Allah untuk menjadi pendidik bagi umatnya, untuk meluruskan kembali
warisan Ibrahim dan menyempurnakannya, serta memperbaiki keadaan dan situasi
budaya masyarakatnya, agar terwujud nyata kebenaran yang didapatkannya. Maka
mulailah Nabi Muhammad SAW menerima petunjuk-petunjuk dan instruksi dari Allah,
tentang apa dan bagaimana berbuat untuk melaksanakan tugasnya tersebut.
Muhammad mulai menerima wahyu dari Allah sebagai petunjuk dan instruksi
untuk melaksanakan tugasnya, sewaktu beliau telah mencapai umur 40 tahun, yaitu
pada tanggal 17 Ramadhan tahun 13 sebelum Hijrah (6 Agustus 610 M). Petunjuk
dan instruksi tersebut berbunyi dalam surat al-Alaq ayat 1-5 sebagai berikut:
ù&tø%$# ÉOó$$Î/ y7În/u Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7/uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
“ Bacalah dengan nama Tuhan mu yang menciptakan. Yang menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah demi Tuhanmu yang
paling Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan kalam. Yang mengajar
manusia apa-apa yang tidak
diketahuinya”. (Q.S. 96:
1-5)[1]
Setelah wahyu pertama datang, kemudian selang beberapa lama, wahyu
yang kedua datang yaitu surat al-Muddatsir 1-7 yang berbunyi:
$pkr'¯»t ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7/uur ÷Éi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ tô_9$#ur öàf÷d$$sù ÇÎÈ wur `ãYôJs? çÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ Îh/tÏ9ur ÷É9ô¹$$sù ÇÐÈ
‘’Hai Orang yang berselimut, bangun dan beringatlah, hendaklah
engkau besarkan Tuhanmu, dan bersihkanlah pakaianmu, tinggalkanlah perbuatan
dosa, dan janganlah engkau memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang
lebih banyak, dan untuk memenuhi perintah Tuhanmu bersabarlah.’’
Setelah wahyu yang kedua ini Rasulullah diwajibkan untuk memanggil
satu umat yang telah begitu rusak kepercayaannya dan akhlaknya, yang
begitu fanatik atas adat dan istiadat dan agama berhala nenek moyangnya. Dengan
berdakwah secara diam-diam dikalangan keluarga dan sahabat dekatnya.
Nabi telah mendidik umatnya secara bertahap. Ia mulai dengan
keluarga dekatnya yang pada mulanya secara sembunyi-sembunyi. Kemudian secara
berangsur-angsur kepada masyarakat Arab pada masa itu.
Dan dakwah tersebut orang yang pertama kali menerima dakwahnya
adalah istrinya (Khadijah) kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Thalib (anak
pamannya) yang baru berumur 10 tahun kemudian Abu Bakar (sahabat karibnya sejak
masa kanak-kanak) lalu Zaid ibn Haritsah (bekas budak yang telah menjadi anak
angkatnya), Ummu Aiman pengasuh Nabi sejak ibunya (Aminah) masih hidup, juga
termasuk orang yang pertama masuk Islam.
Setelah beberapa lama dakwah tersebut secara individual, turunlah
perintah agar Nabi menjalankan dakwah dengan cara terbuka, yakni QS. Al-Hijr:94 yang berbunyi:
÷íyô¹$$sù $yJÎ/ ãtB÷sè? óÚÌôãr&ur Ç`tã tûüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÒÍÈ
‘’Maka
sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan
(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.’’
Mula-mula ia mengundang dan menyeru kerabat karibnya dari Bani
Abdul Muthalib. Ia mengatakan kepada mereka ‘’Saya tidak melihat seorangpun di
kalangan Arab yang dapat membawa sesuatu ke tengah-tengah mereka lebih baik
dari apa yang saya bawa kepada kalian. Kubawakan kepadamu dunia dan akhirat
terbaik. Tuhan memerintahkan saya untuk mengajak kalian semua. Siapakah
diantara kalian yang mau mendukung saya dalam hal ini?’’ Mereka semua menolak
kecuali Ali.
Langkah dakwah selanjutnya yang diambil Muhammad adalah menyeru
masyarakat umum. Nabi mulai menyeru segenap lapisan masyarakat kepada Islam
dengan terang-terangan baik golongan bangsawan maupun hamba sahaya. Setelah
dakwah dengan terang-terangan ini, pemimpin Quraisy mulai menghalangi dakwah
Rosul. Menurut Ahmad Syalabi, ada 5 faktor yang mendorong orang Quraisy
menentang seruan itu, yaitu :
a.
Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka
mengira bahwa tunduk kepada seruan Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan
Bani Abdul Muthalib.
b.
Nabi Muhammad SAW menyerukan persamaan hak antara bangsawan dan
hamba sahaya. Hal ini tidak disetujui oleh kelas bangsawan Quraisy
c.
Para pemimpin Quraisy tidak dapat menerima ajaran kebangkitan
kembali dan pembalasan di akhirat
d.
Taklid kepada nenek moyang adalah kebiasaan yang sangat berakar
pada bangsa Arab
e.
Pemahat dan penjual patung memandang Islam adalah penghalang rizki
Walaupun
demikian berat rintangan yang dihadapi Nabi, namun semua dihadapi dengan penuh
kesabaran dan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberikan petunjuk dan
pertolongan dalam menghadapi tantangan tersebut.[2]
Catatan sejarah
tentang kegiatan pendidikan ditengah komunitas Yahudi dan Kristen yang hidup di
Arabia pra Islam cenderung lebih lengkap. Yahudi dan Kristen terkenal dengan
perhatiannya pada pendidikan umatnya. Sebelum datangnya Islam, Arabia telah
mengenal sekolah-sekolah Yahudi dan Kristen tempat diajarkan kitab suci (Taurot
dan Injil), filsafat, jadal (debat), dan topik-topik lain yang berkaitan dengan
agama mereka. Sekolah-sekolah ini punya kaitan erat dengan kegiatan penyebaran
agama Yahudi dan Kristen baik di kalangan pemeluk agama lain (misalnya, Majusi),
atau ditengah orang Arab pagan.
Disamping itu, adalah merupakan tradisi umat Yahudi dan Kristen Arabia unuk
menggandengkan rumah ibadah mereka-sinagong dan gereja-dengan kuttab dan
lembaga fatwa. Yang pertama berfungsi memberikan pendidikan dasar bagi
anak-anak, yang kedua menjawab pertanyaan dan menyelasaikan sengketa yang
terjadi di tengah umat mereka. Dan menurut Jawad ‘Ali, banyak orang Arab
Jahiliyyah yang memanfaatkan kehadiran orang Yahudi dan Kristen untuk belajar
tentang sejarah, Nabi-nabi, maupun hal-hal lainnya.
Ringkasan kata
menjelang datangnya Islam, bangsa Arab pada dasarnya telah mengembangkan satu
kegiatan sastra, terutama dalam bentuk puisi. Meskipun sistem ekspresi dan
transmisi yang dominan adalah lisan, tulisan telah mulai dikenal secara
terbatas. Paling tidak untuk kalangan tertentu (Yahudi dan Kristen) pendidikan
yang terstruktur, meskipun masih sangat sederhana, sudah mulai berkembang.[3]
Dalam
memberikan pembinaan umat di Mekkah, ada 2 bidang pokok yang digarap oleh
Rasulullah, yaitu:
1.
Pendidikan tauhid, dalam teori dan praktek
Sebagaimana dikemukakan bahwa Nabi Muhammad SAW, dalam melaksanakan
tugas kerasulannya, berhadapan dengan nilai-nilai warisan Ibrahim yang telah
banyak menyimpang dari sebenarnya. Inti warisan tersebut adalah ajaran tauhid.
Tetapi ajaran tersebut dalam budaya yang dihadapi oleh Muhammad, telah pudar
dalam budaya masyarakat bangsa Arab Jahiliyyah. Penyembahan terhadap
berhala-berhala dan perbuatan syirik lainnya, menyelimuti ajaran tauhid. Nama
Allah, sebagai pencipta alam, bumi langit dan seisinya. Memang masih ada dalam
kepercayaan mereka. Tetapi larut dalam nama-nama berhala dan sesembahan
lainnya. Inilah tugas Muhammad, yaitu unuk memancarkan kembali sinar tauhid
dalam kehidupan umat manusia umumnya, dan yang pertama-tama dihadapinya adalah
kehidupan bangsa Arab pada masanya. Dan ini pula intisari pendidikan Islam pada
masa atau periode Mekkah.
Muhammad memperoleh kesadaran dan penghayatan yang mantap tentang
ajaran tauhid, yang intisarinya adalah sebagaimana tercermin dalam surat al-Fatihah.
Pelaksanaan tauhid dalam surat al-Fatihah tersebut ternyata jelas-jelas
bertentangan dengan praktek kehidupan sehari-hari umat yang dihadapinya,
sehingga dengan demikian wajarlah kalau pada mulanya ia mendapatkan tantangan
yang hebat. Inilah sebabnya, kebijaksanaan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW
dalam usahanya menyampaikan pengertian ajaran tauhid dilakukannya secara
bertahap, dimulai dengan keluarga terdekat dan dengan sembunyi-sembunyi, baru
kemudian secara terbuka dan kepada kalangan luas dalam masyarakat Arab.
Pelaksaan praktek pendidikan tauhid tersebut diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW kepada umatnya dengan cara yang sangat bijaksana, dengan menuntun
akal fikiran untuk mendapatkan dan menerima pengertian tauhid yang diajarkan,
dan sekaligus beliau memberikan teladan dan contoh bagaimana pelaksanaan ajaran
tersebut dalam kehidupan sehari-hari secara konkrit. Kemudian beliau
memerintahkan agar umatnya mencontoh praktek praktek pelaksanaan tersebut
sesuai apa yang dicontohkannya.
Pertama-tama Nabi Muhammad SAW dalam rangka memberikan pendidikan
tauhid ini, mengajak umatnya untuk membaca, memperhatikan dan memikirkan
kekuasaan dan kebesaran Allah dan diri manusia sendiri. Kemudian beliau
mengajarkan cara bagaimana merealisir pengertian tauhid tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Semua kebiasaan kehidupan yang bertentangan atau tidak
sesuai dengan pengertian tauhid, diubah dan diluruskan secara berangsur-angsur,
sehingga sesuai dengan kebenaran ajaran tauhid.
2.
Pengajaran Al-Qur’an di Mekkah
Al-Qur’an adalah merupakan intisari dan sumber pokok dari ajaran
Islam yang disampaikan oleh Muhammad SAW kepada umatnya. Tugas Muhammad
disamping mengajarkan tauhid juga mengajarkan Al-Qur’an kepada umatnya, agar
secara utuh dan sempurna menjadi milik umatnya, yang selanjutnya akan menjadi
warisan ajaran secara turun temurun, dan menjadi pegangan dan pedoman hidup
bagi kaum muslimin sepanjang zaman.[4]Tujuan
terpenting al-Qur’an diturunkan kepada manusia adalah mendidik mereka dengan
metode mengajak, mengkaji, membaca, belajar dan melakukan observasi ilmiah
tentang fenomena penciptaan manusia sejak masih berbentuk segumpal darah beku
didalam rahim ibunya.[5]
Selain itu juga bertujuan agar ruh al-Qur’an senantiasa tertanam pada jiwa
mereka cahaya al-Qur’an memancar pada pemikiran, pandangan, dan indra mereka.
Dan bertujuan pula agar mereka menerima aqidah-aqidah al-Qur’an sejak dini,
tumbuh dan beranjak dewasa senantiasa mencintai al-Qur’an, kontak dengannya,
menjalankan perintah-perintahnya, dan menjauhi larangan-larangannya dan
berakhlak seperti akhlak al-Qur’an, serta berjalan diatas prinsip-prinsipnya.[6]
Ada beberapa faktor yang memungkinkan Muhammad SAW mengajarkan
al-Qur’an dengan baik dan sempurna. Masyarakat bangsa Arab pada masa itu dikenal
sebagai masyarakat yang ummi yang pada umumnya tidak dapat membaca dan menulis.
Hanya beberapa orang saja yang dapat menulis dan membaca memberi indikasi bahwa
baca tulis belum membudaya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Tradisi budaya
mereka adalah tradisi budaya lisan, warisan budaya mereka diwariskan pula
secara lisan. Mereka mempunyai tradisi menghafal syair-syair dan puisi-puisi
yang indah,nasab (uruan garis keturunan)pun mereka hafalkan. Mereka mewariskan
tradisi tersebut secara lisan, sehingga kepandaian membaca dan menulis tidak
merupakan hal yang penting dalam tradisi budaya mereka. Dengan tradisi lisan
tersebut, mereka terkenal sebagai orang-orang yang kuat hafalan.
Muhammad SAW
diperintahkan oleh Allah untuk membaca, lalu ia membaca situasi sekitarnya dan
situasi masyarakat yang menjadi sasaran tugasnya. Ia melihat potensi pengikutnya
yang kuat hafalannya, dan potensi sebagian dari mereka yang pandai tulis baca.
Situasi dan potensi umatnya tersebut sangat cocok bagi pengajaran Al-Qur’an. Disamping
itu Allah telah menyampaikan Al-Qur’an kepada Muhammad secara berangsur-angsur,
sedikit demi sedikit, sehingga lebih memudahkan bagai Muhammad untuk
mengajarkan Al-Qur’an tersebut pada umatnya.
Tiap turun
wahyu, yang biasanya terdiri dari beberapa ayat Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW
langsung menyampaikan ayat-ayat tersebut kepada para sahabatnya ,dengan jalan
membacakan bunyi ayat (wahyu) tersebut sebagaimana yang Ia terima dari Allah.
Setelah ia membacakanya secara lengkap, ia memerintahkan kepada sahabat
agar membaca dan menghafalkan sesuai betul dengan yang dikatakanya. Potensi
hafal mereka yang kuat telah menolong mereka unuk menghafal ayat-ayat tersebut
dengan baik. Kemudian Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada sahabat-sahabat
yang pandai menulis, untuk menuliskan ayat-ayat tersebut sesuai dengan yang di
bacakan oleh beliau dan yang mereka hafalkan. Demikianlah kebijaksanaan Nabi
Muhammad SAW dalam setiap turun wahyu. Beliau selalu memerintahkan untuk
menghafalkan baik-baik dan menuliskan baik-baik pula. Kemudian beliau mengatur
dan mengucapkan urutan ayat-ayat yang baru turun digabungkan dengan yang telah turun
sebelumnya. Tiap-tiap telah cukup sesurat turunnya, Nabi Muhammad memberi nama
surat itu sebagai tanda yang membedakan surat itu dengan surat lainnya. Beliau memerintahkan
untuk meletakkan basmalah di
permulaan surat yang baru atau di akhir surat yang terdahulu.
Setelah Umar
bin Khattab memeluk agama Islam mereka dengan bebas membaca dan mempelajari
al-Qur’an. Nabi Muhammad selalu menganjurkan kepada para sahabatnya supaya
al-Qur’an dihafal dan selalu dibaca dan diwajibkan membacanya beberapa dari
ayat-ayatnya dalam shalat, sehingga kebiasaan membaca ayat al-Qur’an tersebut
merupakam bagian dari kehidupan mereka sehari-hari, menggantikan kebiasaan
membaca syair-syair indah pada masa sebelum islam. Agar al-Qur’an tidak
tercampur dengan hal-hal lain maka nabi Muhammad SAW memberikan perintah agar
hanya al-Qur’an sajalah yang dituliskan. Sabda beliau atau pelajaran-pelajaran
lainpun dilarang utnuk ditulis.
Selanjutnya untuk
memantabkan al-Qur’an dalam hafalan mereka, Nabi Muhammad SAW sering melakukan
ulangan terhadap hafalan para sahabat tersebut, beliau menyuruh para sahabat
untuk membacakan ayat-ayat al-Qur’an dihadapanya, kemudian beliau membetulkan
hafalan dan bacaan mereka, jika terjadi kekeliruan atau kesalahan. [7]
Mahmud Yunus
mengklasifikasikan pada fase Mekkah terdapat tiga macam intisari materi
pelajaran yang diberikan di Mekkah; yaitu keimanan, ibadah dan akhlak. Dapat
diuraikan sebagai berikut : pertama, pendidikan keimanan. Materi
keimanan yang menjadi pokok pertama
adalah iman kepada Allah Yang Maha Esa, beriman bahwa Muhammad adalah Nabi dan
Rasul Allah, diwahyukan kepada al-Qur’an sebagai petunjuk dan pengajaran bagi
seluruh umat manusia. Kedua, pendidikan ibadah. Amal ibadah yang
diperintahkan di Mekkah ialah sholat, sebagai pernyataan mengabdi kepada Allah,
ungkapan syukur, membersihkan jiwa, dan menghubungkan hati kepada Allah.
Ketiga, pendidikan akhlak. Nabi menganjurkan penduduk Mekkah yang telah
masuk Islam agar melaksanakan akhlak yang baik, seperti adil, menepati janji,
pemaaf, tawakal, bersyukur atas nikmat Allah, tolong menolong, berbuat baik
kepada ibu bapak, memberi makan orang miskin dan orang musafir; dan
meninggalkan akhlak yang buruk.[8]
B.
Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan di Mekkah
Visi pendidikan di Mekkah atau sebelum hijrah adalah “Unggul dalam
bidang aqidah akhlak sesuai dengan nilai-nilai Islam”.
Visi ini sejalan dengan ayat Al-Qur’an yang turun di Mekkah yang
berkaitan dengan pengetahuan dasar mengenai sifat dan af’al (perbuatan )
Allah, misalnya surat al-A’raaf (surat ketujuh) atau surat al-Ikhlas,
yang menurut Hadist Rasulullah SAW sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an, karena
yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan taukhid dan
tanzih (penyucian) Allah SWT.
Selain itu, ayat-ayat yang turun di mekkah juga berisi keterangan mengenai
dasar-dasar akhlaq Islamiah serta bantahan secara umum mengenai pandangan hidup
masyarakat Jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca misalnya, dalam surat at-Takatsur,
satu surat yang mengecam mereka yang menumpuk harta; dan surat al-ma’un
yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan
agama mengenai hidup bergotong-royong.
Sejalan
dengan visi tersebut, maka misi pendidikan yang berlangsung di
Mekkah dapat di kemukakan sebagai berikut:
1)
Memperkuat dan memperkukuh status dan kepribadian Muhammad sebagai
Nabi dan Rasulullah SAW yang memiliki aqidah dan keyakinan yang kukuh terhadap
pertolongan Allah SWT, berbudi pekerti mulia, dan memiliki komitmen yang tinggi
untuk menegakkan kebenaran di muka bumi. Seperti dalam surat al-Mudatsir 1-7.
$pkr'¯»t ãÏoO£ßJø9$# ÇÊÈ óOè% öÉRr'sù ÇËÈ y7/uur ÷Éi9s3sù ÇÌÈ y7t/$uÏOur öÎdgsÜsù ÇÍÈ tô_9$#ur öàf÷d$$sù ÇÎÈ wur `ãYôJs? çÏYõ3tGó¡n@ ÇÏÈ Îh/tÏ9ur ÷É9ô¹$$sù ÇÐÈ
2) Memberikan
bimbingan kepada Nabi Muhammad SAW dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik
dan pengemban misi kebenaran. Hal ini dapat di pahami dari surat al-Mujammil
1-5 yang berbunyi:
$pkr'¯»t ã@ÏiB¨ßJø9$# ÇÊÈ ÉOè% @ø©9$# wÎ) WxÎ=s% ÇËÈ ÿ¼çmxÿóÁÏoR Írr& óÈà)R$# çm÷ZÏB ¸xÎ=s% ÇÌÈ ÷rr& ÷Î Ïmøn=tã È@Ïo?uur tb#uäöà)ø9$# ¸xÏ?ös? ÇÍÈ $¯RÎ) Å+ù=ãZy øn=tã Zwöqs% ¸xÉ)rO ÇÎÈ
3) Memberikan
peringatan dan bimbingan akhlaq mulia kepada keluarga dan kerabat dekat Nabi
Muhammad SAW. Hal ini dapat di pahami dari surat asy-Syuraa 214-216 yang berbunyi:
öÉRr&ur y7s?uϱtã úüÎ/tø%F{$# ÇËÊÍÈ ôÙÏÿ÷z$#ur y7yn$uZy_ Ç`yJÏ9 y7yèt7¨?$# z`ÏB úüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÊÎÈ ÷bÎ*sù x8öq|Átã ö@à)sù ÎoTÎ) ÖäüÌt/ $£JÏiB tbqè=yJ÷ès? ÇËÊÏÈ
Adapun tujuan pendidikan di Mekkah adalah membentuk manusia yang
beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, sebagai landasan bagi mereka dalam
menjalani kehidupan-nya dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Tujuan ini sejalan dengan tujuan di turunkannya al-Qur’an yang antara lain
untuk memberikan petunjuk bagi orang-orang yang beriman, menyembuhkan mentalnya
yang sakit, mengeluarkan manusia dari kesesatan menuju jalan terang benderang,
mengubah mental Jahiliah menjadi mental yang cerdas, dan mempersatukan manusia
dari bahaya perpecahan dan peperangan.
Lahirnya visi, misi, dan tujuan pendidikan di Mekkah seperti itu
tidak dapat dilepaskan dari keadaan masyarakat Mekkah yang pada saat itu masih
belum mengenal agama yang hakiki. Mereka masih menganut agama nenek moyangnya,
yaitu agama musyrik yang menyembah banyak Tuhan yang merupakan buatan mereka
sendiri. Mereka juga masih belum mengenal akhlak yang mulia. Mereka masih gemar
berjudi, berzina, mabuk-mabukan, merampok, melakukan praktek riba, dan
menghalalkan segala cara. Mereka masih berada dalam kesesatan yang nyata (fi
dhalal a-mubin), masih belum mengenal kebenaran (jahiliah), masih
suka berperang (a’daan), membuat kerusakan di muka bumi (yufsiduna fi
al-ardl), dan belum mengenal agama (fi dzulumat).[9]
C.
Pendidikan Pada Fase Madinah
Pada fase Madinah materi pendidikan yang diberikan cakupannya lebih
kompleks dibanding dengan materi pendidikan fase Mekkah. Diantara pelaksanaan
pendidikan Islam di Madinah adalah:
1.
Pendidikan ukhuwah (persaudaraan) antara kaum muslimin. Dalam
melaksanakan pendidikan ukhuwah ini, Nabi Muhammad SAW. Bertitik tolak dari
struktur kekeluargaan yang ada pada masa itu. Untuk mempersatukan keluarga itu
Nabi Muhammad SAW berusaha untuk mengikatnya menjadi satu kesatuan yang
terpadu. Mereka dipersaudarakan karena Allah bukan karena yang lain-lain.
Sesuai dengan isi konstitusi Madinah pula, bahwa antara orang yang beriman,
tidak boleh membiarkan saudaranya menanggung beban hidup dan utang yang berat
diantara sesama mereka. Antara orang yang beriman satu sama lainnya haruslah
saling bantu membantu dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka harus
bekerja sama dalam mendatangkan kebaikan, mengurus kepentingan bersama, dan
menolak kemudharatan atau kejahatan yang akan menimpa.
2.
Pendidikan kesejahteraan sosial. Terjaminnya kesejahteraan sosial,
tergantung pertama-tama pada terpenuhinya kebutuhan pokok daripada kehidupan
sehari-hari. Untuk itu, setiap orang harus bekerja mencari nafkah. Untuk
mengatasi masalah pekerjaan tersebut, Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada
kaum Muhajirin yang telah dipersaudarakan dengan kaum Anshor, agar mereka
bekerja bersama dengan saudara-saudaranya tersebut. Mereka kaum Muhajirin yang
biasa bertani silahkan mengikuti pertanian, yang biasa berdagang silahkan
mengikuti saudara yang berdagang. Untuk pengamanan,Nabi Muhammad SAW membentuk
satuan-satuan pengamat yang mendapat tugas untuk menjaga
kemungkinan-kemungkinan terjadinya serangan dan gangguan terhadap kehidupan
kaum muslimin. Satuan-satuan ini adalah merupakan embrio dari pasukan yang
bertugas untuk mengamankan dan mempertahankan serta mendukung tugas-tugas
dakwah Islam lebih lanjut.
3.
Pendidikan kesejahteraan keluarga kaum kerabat. yang dimaksud dengan keluarga adalah suami,
istri, dan anak-anaknya. Nabi Muhammad SAW berusaha untuk memperbaiki keadaan
itu dengan memperkenalkan dan sekaligus menerapkan sistem kekeluargaan
kekerabatan baru, yang berdasarkan takwa kepada Allah.
4.
Pendidikan Hankam (pertahanan dan keamanan) dakwah Islam
Masyarakat
kaum muslimin merupakan satu state (negara) dibawah bimbingan Nabi
Muhammad SAW yang mempunyai kedaulatan.[10]
D.
Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan di Madinah
Visi pendidikan di Madinah atau sesudah Hijrah adalah ‘’unggul
dalam bidang keagamaan, moral, sosial ekonomi, dan kemasyarakatan, serta
penerapannya dalam kehidupan.’’
Visi ini sejalan dengan ayat al-Qur’an yang turun di Madinah yang
menggunakan kata-kata yang membangkitkan semangat untuk menerapkan nilai ajaran
agama dalam kehidupan. Misalnya ayat at-Taubah ayat 13-14 yang berbunyi:
wr& cqè=ÏG»s)è? $YBöqs% (#þqèWs3¯R óOßguZ»yJ÷r& (#qJydur Æl#t÷zÎ*Î/ ÉAqߧ9$# Nèdur öNà2râäyt/ ^¨rr& Bo§tB 4 óOßgtRöqt±ørBr& 4 ª!$$sù ,ymr& br& çnöqt±ørB bÎ) OçFZä. úüÏZÏB÷sB ÇÊÌÈ öNèdqè=ÏF»s% ÞOßgö/Éjyèã ª!$# öNà6Ï÷r'Î/ öNÏdÌøäur öNä.÷ÝÇZtur óOÎgøn=tæ É#ô±our urßß¹ 7Qöqs% úüÏZÏB÷sB ÇÊÍÈ
“Mengapakah
kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka
telah keras kemauannya untuk mengusir rasul dan merekalah yang pertama kali
memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah lah
yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang beriman. Perangilah
mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu
dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta
melegakan hati orang-orang yang beriman.(QS. At-Taubah (9):13-14).
Selain itu, secara silih berganti, terdapat juga ayat-ayat yang
menerangkan akhlak dan suluk (cara beribadah) yang harus diikuti oleh setiap
muslim dalam kehidupannya sehari-hari, misalnya surat an-Nur ayat 27 yang berbunyi:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=äzôs? $·?qãç/ uöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 crã©.xs? ÇËÐÈ
“Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu
kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian
ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekaliyan mendapat peringatan.(QS.an-Nur(24):27).
Selain ayat-ayat yang mengajak berdialog dengan orang-orang mukmin
banyak juga ayat yang ditunjukkan kepada orang-orang munafik, ahli kitab, dan
orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar,
sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah, misalnya dalam surat Ali-Imron yang berbunyi:
ö@è% @÷dr'¯»t É=»tGÅ3ø9$# (#öqs9$yès? 4n<Î) 7pyJÎ=2 ¥ä!#uqy $uZoY÷t/ ö/ä3uZ÷t/ur wr& yç7÷ètR wÎ) ©!$# wur x8Îô³èS ¾ÏmÎ/ $\«øx© wur xÏGt $uZàÒ÷èt/ $³Ò÷èt/ $\/$t/ör& `ÏiB Èbrß «!$# 4 bÎ*sù (#öq©9uqs? (#qä9qà)sù (#rßygô©$# $¯Rr'Î/ cqßJÎ=ó¡ãB ÇÏÍÈ
“Katakanlah: Hai
ahli kitab , marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak
ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah
dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian
kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah, jika mereka
berpaling maka katakanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah) (QS.Ali-imron
(3):64).
Sejalan dengan visi tersebut,maka pendidikan yang berlangsung di
Madinah memilliki misi: (1) memberikan bimbingan kepada kaum muslimin menuju
jalan yang diridhoi Tuhan; (2) mendorong kaum muslimin untuk berjihad dijalan
Allah (3) memberikan didikan akhlak yang sesuai dengan keadaan mereka dalam
bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman, takut); (4)
mangajak kelompok diluar Islam (Yahudi dan Nasrani) agar mematuhi dan
menjalankan agamanya dengan sholeh, sehingga mereka dapat hidup tertib dan
berdampingan dengan umat Islam; (5) menyesuaikan didikan dan dakwah dengan
keadaan masyarakat saat itu. Antara lain dengan mengungkapkan sejarah
bangsa-bangsa yang hidup disekitar jazirah Arab, dan peristiwa yang dibawakan
adalah peristiwa mereka.
Tujuan pendidikan yang diselenggarakan di Madinah adalah membentuk
masyarakat yang memiliki kesadaran dan tanggungjawab yang besar dalam
mewujudkan cita-cita Islam, yakni mewujudkan masyarakat yang diridhoi Allah SWT
dengan cara menjalankan syari’at Islam seutuhnya.[11]
IV.
KESIMPULAN
Ciri pokok pembinaan pendidikan Islam di Mekkah adalah pendidikan
tauhid (dalam artinya yang luas), maka pada periode Madinah ini, ciri pokok
pembinaan pendidikan Islam dapat dikatakan sebagai pendidikan sosial dan
politik (dalam artinya yang luas pula). Tetapi sebenarnya antara kedua kedua
ciri tersebut bukanlah merupakan dua hal yang bisa dipisahkan satu sama lain.
Kalau pembinaan pendidikan Islam di Mekkah titik beratnya adalah menanamkan
nilai-nilai tauhid ke dalam jiwa setiap individu muslim, agar dari jiwa mereka
terpancar sinar tauhid dan tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan pembinaan pendidikan di Madinah pada
hakikatnya adalah merupakan kelanjutan dari pendidikan tauhid di Mekkah, yaitu
pembinaan di bidang pendidikan sosial dan politik agar dijiwai oleh ajaran
tauhid, sehingga akhirnya tingkah laku sosial politiknya merupakan cermin dan
pantulan sinar tauhid tersebut.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat. Dalam
penyusunan makalah ini, kami menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan
karena keterbatasan pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi. Kami
berharap bagi pembaca dapat berkenan memberikan kritik dan saran yang
membangun, demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, amin
[1] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam.(Jakarta:Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1986). Hlm 18-20
[3] Hasan Asari. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. (Bandung:
Mizan, 1994). Hlm 18
[5] Moh. Slamet Untung. Menelusuri Metode Pendidikan ala Rasulullah.
(Semarang:Pustaka Rizki Putra,2007). Hlm 55
[6] M. Alawi Al-Maliki. Prinsip Pendidikan Rasulullah.(Jakarta:
Gema Insani Press,2002). Hlm 29
[8] Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta:
KENCANA,2007). Hlm 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar