FUNGSI DAN KEDUDUKAN
HADITS
MAKALAH
Dipresentasikan Dalam Mata
Kuliah
Ulumul Hadits
Yang
Diampu Oleh: Titik Rahmawati M.
Ag.
Disusun oleh:
Ma’rifatun (133311009)
Irrodatus
Salamah (133311035)
Durrotun
Nafisah (133311036)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
TAHUN 2014
I.
PENDAHULUAN
Seperti yang
kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam.
Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit
sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja,
atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar
untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan
Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau
penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah
Al-Qur’an.
Mengenai islan agama yang di bawa oleh Nabi Ibrahim dan agama manusia
sebelumnya, dinyatakan dalam al-qur`an sebagai berikut :
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ
بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلا
تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya :
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula
Yakub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah
memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama
Islam".(Qs al-baqarah ,ayat 132).
Islam adalah
agama Allah yang di wahyukan kepada rasul-rasulnya untuk di ajarkan kepada
manusia. Ia dibawa secara berantai dari satu generasi ke generasi lain,
selanjutnya dari satu angktan ke angkatan berikutnya. Itu adalah rahmat hidayah
dan petunjuk bagi manusia.
Meskipun
demikian tidak berarti semua sama persis antara islam yang di bawa Nabi
Muhammad SAW dengan islam yang di bawa Nabi sebelumya.
Firman Allah
sebagai berikut :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ
دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
Artinya :
``Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama
bagimu``
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
kedudukan hadist dalam ajaran Islam?
B.
Bagaimana
fungsi hadist dalam ajaran Islam?
C.
Bagaimana
perbedaan pendapat yang terjadi para ulama tentang fungsi hadist dalam ajaran
Islam?
III.
PEMBAHASAN
A.
Kedudukan hadits dalam ajaran Islam
Kedudukan hadist berkaitan langsung
dengan kedudukan kenabian. Karena itu, mengetahui kedudukan ini dapat diperoleh
dengan cara mengetahui kedudukan Nabi SAW dan sunahnya, terutama dari
keterangan yang dapat diperoleh dari al-Qur’an.
Di dalam al-Qur’an dijumpai sejumlah
keterangan bahwa Nabi SAW mempunyai tugas dan peran. Misalnya: disebutkan
sebagai penjelas al-Qur’an, sebagai teladan yang wajib dicontoh, sebagai Rasul
yang wajib ditaati, dan sebagai pembuat aturan selain al-Qur’an. Keterangan
mengenai kedudukan diatas akan dilihat berikut ini:
1.
Sebagai
penjelas al-Qur’an
Al-Qur’an surat an-nahl ayat 44
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan,
Diantara tugas Rasul SAW, menurut ayat diatas adalah menjelaskan
baik dengan lisan maupun perbuatan hal-hal yang masih global dan masih umum
sifatnya atas apa-apa yang terdapat dalam al-Qur’an. Tugas menjelaskan ini
tentu turun dari Allah SAW, tugas ini jelas bukan sekadar membacakan, melainkan
ditujukan untuk memperjelas isi al-Qur’an, utamanya hal-hal yang memerlukan
penjelasan praktis dari Nabi melalui hadist-hadist yang disampaikan. Dari
kedudukan Rasul SAW demikian, maka kedudukan hadist terhadap al-Qur’an yang
pertama ini dapat disebut untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam al-Qur’an. Dengan sebutan lain, hadist berkedudukan sebagai “penafsir”
al-Qur’an.
2.
Sebagai
teladan yang wajib dicontoh
Allah
SAW berfirman dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 21:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$#
tx.sur ©!$# #ZÏVx. ÇËÊÈ
“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.”
Dari ayat di atas jelas bahwa Rasul SAW memiliki kedudukan penting
ditengah-tengah kaumnya, terutama menghadapi problema mereka berkenaan dengan
figure atau profil tokoh riil yang baikuntuk dicontoh.
Dari kedudukan Rasul diatas, maka kedudukan hadist dalam islam
adalah sebagai contoh nyata untuk diteladani oleh segenap umat manusia.
3.
Sebagai pedoman yang
wajib ditaati selain al-Qur’an
Dalam surat al-Anfal ayat 20, Allah
berifrman:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# ¼ã&s!qßuur wur (#öq©9uqs? çm÷Ytã óOçFRr&ur tbqãèyJó¡n@ ÇËÉÈ
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya,
dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar (perintah-perintah-Nya)”
Dari ayat-ayat di ats jelas bahwa kedudukan hadist di dalam islam
adalah sebagai ketentuan yang harus dipatuhi, seiring dengan di patuhinya
al-Qur’an. Keduanya merupakan sistem dan hukum Allah SWT yang diturunkan
ditengah-tengah kehidupan umat manusia sebagai sunnah hukum dan sistem
kehidupan.
4.
Sebagai
pembuat aturan selain al-Qur’an
Firman
Allah SWT dalam surat al-Najm ayat 3-4
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
“3. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. 4. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
Dari keternangan-keterangan ayat diatas jelas bahwa memakai ayat saja
dengan meninggalkan hadist jelas tidak mungkin dan merupakan tindakan yang
tidak dibenarkan. Maka kedudukan
hadist amatlah penting bagi umat islam agar dapat memahami al-Qur’an.[1]
B.
Fungsi
hadist terhadap al-Qur’an
Al-Qur’an dan hadist sebagai pedoman
hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainnya
tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Qur’an sebagai sumber
pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.
Oleh karena itulah kehadiran hadist, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk
menjelaskan (bayan) keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai firman
Allah SWT:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan
supaya mereka memikirkan”.
Allah SWT menurunkan al-Qur’an bagi umat manusia, agar al-Qur’an ini dapat dipahami oleh manusia,
maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara
melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadist-hadistnya.
1.
Bayan
at-Taqrir
Bayan al-Taqrir disebut juga dengan bayan al-Ta’kid dan bayan
al-Itsbat. Yang di maksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa
yang telah diterangkan di dalam al-Qur’an. Fungsi hadist dalam hal ini hanya
memperkokoh isi kandungan al-Qur’an.
Contoh hadist yang diriwayatkan Bukhari dari Abu Hurairah, yang
berbunyi sebagai berikut:
قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَىْهِ وَسَلَّمَ لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ مَنْ اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَّضَّأ (رَوَاهُ الْبُخَارِى)
“Rasul SAW telah bersabda: Tidak
diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu”. (HR. Bukhari).
Hadist ini
mentaqrir QS. Al-Maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang
akan mendirikan shalat. Ayat dimaksud berbunyi:
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur
n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# ….4 ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki….”
Abu Hamadah
menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-Muwafiq li
al-Nas al-Kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadist-hadist itu sealur
(sesuai) dengan nas al-Qur’an.[2]
2.
Bayan
al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-Tafsir adalah
bahwa kehadiran hadist berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan
persyaratan/ batasan (taqyid) ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat mutlak dan
mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat umum.
a.
Merinci ayat-ayat yang mujmal
Yang dimaksud dengan mujmal, ialah ayat
yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak
makna yang perlu dijelaskan. Hal ini tersebut karena belum jelas makna yang
dimaksudnya, kecuali setelah adanya penjelasan atau perincian.
Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-Tafsir:
صَلُّوا كَمَا رَأَىْتُمُونِى أُصَلِّى (رَوَاه ُ
البُخَارى)
“ Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”.
Hadist ini mejelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci.
Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah QS. Al-Baqarah ayat 43 yang
berbunyi:
(#qßJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan ruku'lah beserta orang orang yang ruku”.
b.
Men-taqyid
ayat-ayat yang muthlaq
Kata muthlaq artinya
kata yang menunjukkan pada hakikat kata itu sendiri, apa adanya, dengan tanpa
memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang muthlaq,
artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan, atau
syarat-syarat tertentu.
Sedagkan contoh hadist yang membatasi (taqyid) ayat-ayat
al-Qur’an yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah SAW:
أُتِىَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ
بِسَارِقٍ فَقَطَعَ يَدَهُ مِنْ مِفْصَلِ الْكَفِّ
“Rasulullah SAW didatangi seseorang
dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan
tangan”.
Hadist ini men-taqyidkan QS. Al-Maidah ayat 38 sebagai berikut:
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#u
r îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
“Laki-laki
yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
c.
Men-takhsis
ayat yang ‘am
Yang dimaksud dengan
men-takhsis yang ‘am adalah membatasi keumuman ayat al-Qur’an sehingga
tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini, maka para
ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya dengan hadits ahad. Menurut
as-Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat bisa di-takhsis-kan oleh
hadits ahad yang menunjuk kepada sesuatu yang khas, sedangkan menurut ulama
Hanafiyah, sebaliknya.
Sedangkan contoh
hadist yang berfungsi untuk mentakhshish keumuman ayat-ayat al-Qur’an adalah:
نَحْنُ مَعَا شِرَ الْاَنْبِيَاءِ لاَ نُوْرِثُ مَا تَرَكْنَاهُ
“Kami para Nabi tidak meninggalkan harta warisan”
قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللّهُ عَلَىْهِ وَسَلَّمَ لاَيَرِثُ الْمُسْلِمُ
الْكَافِرَ وَلاَالْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (رواه البخارى)
“Nabi SAW bersabda: “
Tidaklah orang muslim mewarisi dari orang Kafir, begitu juga kafir tidak
mewarisi dari orang Muslim.”
Kedua hadist tersebut mentakhsiskan keumuman QS. Al-Nisa’ ayat 11:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4… ÇÊÊÈ
“ Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…”.[3]
3. Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan
bayan at-Tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak
didapati dalam al-Qur’an, atau dalam al-Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya (ashl)
saja. Abbas Mutawalli Hammadah juga menyebut
bayan ini dengan “Za’id ‘ala al-kitab al-karim”. Hadist Rasul SAW dalam
segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li, maupun taqriri) berusaha menunjukkan
suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak
terdapat dalam al-Qur’an. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinyadengan menunjukkan
bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.
Hadist-hadist Rasul SAW yang termasuk ke
dalam kelompok ini, diantaranya hadist tentang penetapan haramnya mengumpulkan
dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum
merajam pezina wanita yang masih perawan dan hukum tentang hak waris bagi
seorang anak. Suatu contoh hadist tentang zakat fitrah sebagai berikut:
أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا
مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مَنْ شَعِيْرٍ عَلَى
كُلِّ حُرِّ أَوْعَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْأُنْثَى مِنَ الْمُسْلِميْنَ (رواه المسلم)
“Bahwasannya
Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan
satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau
hamba, laki-laki atau perempuan Muslim”. (HR. Muslim)
Hadist Rasul SAW yang termasuk bayan at-Tasyri’ ini, wajib diramalkan,
sebagaimana kewajiban mengamalkan hadist-hadist lainnya. Ibnu al-Qayyim
berkata, bahwa hadist-hadist Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’an
merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau
mengingkarinya dan ini bukanlah sikap (Rasul SAW) mendahului al-Qur’an
melainkan semata-mata karena perintah-Nya.
4. Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang pertama yang telah diuraikan diatas disepakati oleh
para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang
terutama menyangkut definisi (pengertian) nya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat
tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadist sebagai nasikh
terhadap sebagian hukum al-Qur’an da nada juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah
(menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah).
Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan
bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat dalam
menta’rifkannya. Termasuk perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin
dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dapat dipegang dari
ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya
dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, Karena telah
berakhir masa keberlakuannya serta tidak diamalkan lagi, dan syari’
(pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk
selama-lamanya (temporal).[4]
C.
Perbedaan
pendapat para ulama mengenai fungsi hadist
1.
Pendapat Ahl ar-Ra’yi
Menurut pendapat ulama Ahl
ar-Ra’yi, penerangan al-hadits terhadap al-Qur’an terbagi tiga:
a.
Bayan Taqrir
b.
Bayan Tafsir
c.
Bayan Tabdil (Bayan
Nasakh)
2.
Menurut pendapat Malik
Malik berpendirian bahwa bayan
(penerangan)al-Hadits itu terbagi kepada:
a.
Bayan at-Taqrir
b.
Bayan at-Taudhih
(Tafsir)
c.
Bayan at-Tafshil
d.
Bayan al-Basthy
Yakni memanjangkan keterangan
bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh al-Qur’an.
e.
Bayan Tasyri
3.
Pendapat Asy-Syafi’y
Asy-Syafi’y di antara
ulama Ahli al-Atsar menetapkan, bahwa penjelasan al-Hadits terhadap
al-Qur’an terbagi lima, yaitu:
a.
Bayan Tafshil,
menjelaskan ayat-ayat yang mujmal (yang sangat ringkas petunjuknya)
b.
Bayan Takhsish,
menentukan sesuatu dari ayat yang umum
c.
Bayan Ta’yin,
menentukan nama yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudnya
d.
Bayan Tasyri’,
menetukan sesuatu hukum yang tidak didapati dalam al-qur’an.
e.
Bayan Nasakh,
menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat
al-Qur’an yang kelihatan berlawanan.
4.
Ahmad bin Hambal
Ahmad bin Hambal menyebutkan
empat fungsi, yaitu:
a.
Bayan at-Ta’qid
b.
Bayan at-Tafsir
c.
Bayan at-Tasyri’
d.
Bayan at-Takhsish
5.
Ibnu al-Qoyyim
Ibnu al-Qoyyim telah menerangkan
pendapat Ahmad dalam soal ini dalam kitabnya I’lam al-Muwaqqi’in, bahwa
keterangan al-Hadits terhadap al-Qur’an terbagi empat:
a.
Bayan Ta’kid (bayan
Taqrir)
b.
Bayan Tafsir
c.
Bayan Tasyri
d.
Bayan Takhsish dan
Taqyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar